Kamis, 28 Juni 2018

KAJIAN ANTROPOLOGI POLITIK PILKADA 2018 - Khusus Provinsi di Jawa


 Prolog:
Artikel ini pernah disampaikan diberbagai kesempatan pada bulan Januari 2018, saat Tahapan PILKADA 2018 masih belum ada pendaftaran calon-calon Peserta Kontestasi Politik

------------------- -- 

REPOSTING-UNGGAH KEMBALI:


Kajian Antropologi Politik
atas
Pilkada Tingkat Provinsi Khusus Provinsi-provinsi di Jawa

Oleh: Ratmaya Urip*)
============= ==

BAGIAN – 1

Hiruk pikuk pertarungan politik yang dikemas berbalut “euphemisme” dengan istilah “Pesta Demokrasi”, suka tidak suka, mau tidak mau  akan selalu diperhitungkan dalam bisnis, karena secara ekonomi, politik dan keamanan (baca kelancaran berusaha) akan sangat memberikan pengaruh yang signifikan di tahun penyelenggaraannya.  Perencanaan Jangka Panjang (Longterm Plan)maupun Perencanaan Jangka Pendek (Annual Plan) selalu memperhitungkan aspek ini. Karena  pelaku bisnis banyak yang melakukan  “wait and see” , sehingga roda berusaha sedikit banyak akan terganggu. Tergantung dari jenis bisnisnya.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, penulis kembali akan menelaah kontes politik ini dari perspektif ANTROPOLOGI POLITIK dan sedikit bahasan atau telaan dalam perspektif ANTROPOLOGI EKONOMI/BISNIS.

Telaah kali ini sengaja hanya akan membedah perspektif ini khusus untuk provinsi-provinsi  di Jawa, dalam hal ini Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah, wilayah yang pada Tahun 2018 ini akan menjadi ajang pertarungan politik.  Mengapa wilayah ini yang dikaji? Karena wilayah ini merupakan barometer perpolitikan nasional, dengan jumlah penduduk mayoritas di Indonesia (Jawa memiliki 70% dari total penduduk di Indonesia). Karena DKI Jakarta, Banten dan Daerah Istimewa Yogyakarta hiruk pikuk kontestasi politiknya telah selesai, dan juga wilayah ini tidak sebesar wilayah Jabar, Jateng dan Jatim), maka tidak akan dibahas di telaah ini. (Catatan; Di Jawa terdapat 6 Provinsi)
  
Dalam perspektif antropologi, penulis mungkin dianggap sebagai “orthodox”, karena masih sering mengintip rujukan pada buku “Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa” (1960) dari  “Clifford James Geertz” . Karena menurut penulis, untuk saat ini, jika kajiannya pragmatis praktis dan merujuk pada realitas lapangan, apa yang telah disampaikannya masih cukup relevan.

“Abangan” secara realitas lapangan direpresentasikan oleh golongan “Nasionalis”. Sedangkan “Santri” direpresntasikan oleh Golongan Agama (Baca: Islam), meskipun secara riil, “Santri” dibagi lagi menjadi “Santri Tradisional” dan “Santri Modernis”, yang secara antropologi politik memiliki stereotip yang agak berbeda. Sedangkan “Priyayi” merepresentasikan pada birokrat, intelektual, bangsawan, atau golongan menengah di Indonesia. Golongan “Priyayi” ini merupakan campuran dari Golongan “Nasionalis” dan Golongan “Agama” (Baca: Islam).

Seperti diketahui, konstelasi politik Indonesia, diakui atau tidak sebenarnya masih mengerucut pada dua kutub utama kekuatan, yaitu antara kutub NASIONALIS dan kutub AGAMA (Islam).
Kutub AGAMA yang untuk Pemilu 2014  direpresentasikan oleh  5 (lima) Parpol AGAMA (Islam), sementara kutub NASIONALIS  direpresentasikan oleh 7 (tujuh) partai.

Ada catatan khusus yang perlu saya sampaikan, bahwa baru kali ini sejak reformasi bergulir tak ada peserta Pemilu dari partai AGAMA-Non Muslim (Kristen-Katholik) seperti Partai Katholik, Partai Kristen Indonesia, Partai Damai Sejahtera, dll.
Ini adalah suatu degradasi politis.

I.                  JAWA TIMUR

Penulis sengaja memulai kajian dari topik  ini dari Provinsi Jawa Timur, karena wilayah ini merupakan wilayah yang secara antropologi politik lebih mudah dikaji. Jawa Timur relatif merupakan wilayah yang tidak begitu heterogin seperti halnya DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten, dalam perspektif Antropologi.

Saat tulisan ini diunggah, calon-calon pasangan Gubernur-Wakil Gubernur yang akan maju dalam PILKADA Serentak 2018, masih dalam proses penggodokan oleh masing-masing partai pengusung. .

Wilayah ini memiliki kekuatan yang relatif berimbang antara kekuatan  ISLAM TRADISIONAL dengan kekuatan NASIONALIS, dengan sedikit keunggulan bagi kekuatan ISLAM TRADISIONAL. Sementara kekuatan ISLAM MODERNIS berada di peringkat di bawahnya.
Bahkan untuk pertarungan politik kali ini, Jawa Timur dimungkinkan untuk terjadi pertarungan antarkelompok  ISLAM TRADISIONAL untuk Gubernur, yang masing-masing kubu menggandeng kelompok NASIONALIS sebagai  Wakil Gubernur. Calon-calon dari kelompok ISLAM MODERNIS patut diduga akan mengalami kesulitan untuk memenangkan pertarungan di wilayah ini. Di wilayah ini “kemesraan” antara kelompok ISLAM TRADISIONAL dengan kelompok NASIONALIS memang sudah terjalin sejak jaman dahulu. Maka tidak mengherankan jika saat Presiden Soekarno berkuasa (NASIONALIS), maka Urusan Agama yang direpresentasikan dengan adanya Kementerian Agama selalu dijabat oleh pihak ISLAM TRADISIONAL.

Mari kita coba simak Geopolitiknya, sebabgai berikut:

Jawa Timur terbagi secara antropologis menjadi 6 (enam) sub-etnik dominan yang berkorelasi baik langsung maupun tidak langsung dalam pandangan politiknya. Enam sub-etnik dimaksud adalah: Jawa Arek, Jawa Mataraman, Jawa Kulonan, Madura-Pedalungan, Jawa Osing, dan Jawa Tengger.


1.1.  Sub etnis Jawa Arek

Sub-etnik ini, secara dominan mendiami wilayah Surabaya dan sekitarnya, (termasuk Sidoarjo, Gresik, sebagian Lamongan, Mojokerto, sebagian Jombang, sebagian Pasuruan, sebagian Probolinggo), Malang dan sekitarnya. Wilayah ini masih terbagi lagi menjadi 2 (sub sub etnis), yaitu:

-          Jawa Arek Pesisir
-          Jawa Arek Pedalaman

Konstelasi antropologis ini memberikan konstelasi politik yang berbeda.
Jawa Arek Pesisir (Surabaya dan sekitarnya), cenderung untuk berorientasi politik ISLAM TRADISIONAL, khususnya di pedesaan (rural), sedangkan di perkotaan lebih dominan berorientasi NASIONALIS. Jika dia Muslim, di perkotaan cenderung untuk berorientasi politik ISLAM MODERNIS.
Jawa Arek Pedalaman (Malang dan sekitarnya) dominan memiliki orientasi politik NASIONALIS dan ISLAM MODERNIS

1.2  Sub Etnis Jawa Mataraman
Di Jawa, terdapat wilayah, yang memiliki Nomor Polisi Ganda. Biasanya di Jawa Nomor Polisinya adalah Tunggal, misalnya A (Banten), B (Jakarta), D (Bandung), H (Semarang), L (Surabaya), N (Malang), dan sebagainya. Namun ada wilayah di Jawa yang memiliki Nomor Polisi Ganda, yaitu: AA (Kedu-Magelang dan sekitarnya), AB (Yogyakarta dan sekitarnya), AD (Surakarta dan sekitarnya), AE (Madiun dan sekitarnya), AG (Kediri dan sekitarnya). Wilayah ini adalah wilayah historis, yang kemudian disebut sebagai Wilayah Mataraman, atau Jawa Mataraman, yang secara antropologis memiliki stereotip antropologis yang berbeda dengan wilayah-wilayah Jawa yang lain.
Di Jawa Timut, wilayah Jawa Mataraman yang ada adalah yang memiliki Nomor Polisi AE (Madiunj dan sekitarnya), dan AG (Kediri dan sekitarnya.
Wilayah ini memiliki orientasi politik dominan NASIONALIS. Disusul oleh ISLAM MODERNIS. ISLAM TRADISIONAL sebagai ranking ke-3. Namun NASIONALIS sangat dominan di wilayah JAWA MATARAMAN.

1.3.  Sub Etnis Madura – Pendalungan  

Sebenarnya entitas Pendalungan berbeda dengan entitas Madura, maupun entitas Jawa. Sub-etnik Pendalungan merupakan hasil asimilasi antara budaya Jawa (khususnya Jawa Arek) dengan budaya Madura, yang membentuk budaya tersendiri.
Entitas Pendalungan ini memiliki wilayah penyebaran di Jawa Timur Pesisir Bagian Utara, khususnya wilayah Tapak Kuda (Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso), serta Pesisir Jawa Timur Bagian Selatan khususnya di Jawa Timur Bagian Timur (Jember, Lumajang, sebagian Banyuwangi)

Entitas Pendalungan digabungkan dengan entitas Madura, karena dalam perspektif Antropologi Politik memiliki kesamaan pandangan, yaitu berorientasi politik secara dominan pada ISLAM TRADISIONAL. Namun demikian dalam kenyataannya, ISLAM TRADISIONAL sendiri masih terbelah pada 2 (dua) kutub pandangan.

1.4. Sub Etnis Jawa Kulonan
Istilah ini merujuk pada posisi geografis, untuk sub etnis Jawa, yang mendiami wilayag Jawa Timur Bagian Barat, sebelah Utara, atau tepatnya wilayah Ex-Karesidenan Bojonegoro, yang meliputi, Bojonegoro, Tuban dan sebagian Lamongan).
Sebenarnya Sub etnis ini saudara dari Sub Etnis Jawa-Semarangan, salah satu Sub Etnis di Jawa Tengah yang memiliki wilayah geografis Ex-Karesidenan Semarang  (Semarang, Demak, Kendal, Grobogan) dan Ex-Karesidenan Pati (Pati, Kudus, Jepara, Rembang, Blora).
Sub Etnis Jawa Kulonan, memiliki orientasi politik NASIONALIS dan ISLAM TRADISIONAL, dengan beberapa enclave ISLAM MODERNIS.

1.5. Sub Etnis Jawa Osing
Sub Etnis ini mendiami ujung timur dari Pulau Jawa yang meliputi Kabupaten Banyuwangi. Sub etnis ini memiliki orientasi politik yang berimbang antara NASIONALIS dengan ISLAM TRADISIONAL.


1.6. Sub Etnis Jawa Tengger
Sub Etnis ini mendiami wilayah lereng Gunung Semeru-Bromo, yang memiliki orientasi politik NASIONALIS.

Kajian Pertarungan Kekuasaan di Jawa Timur Tahun 2018
Saat artikel ni disusun, calon-calon  Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Timur yang akan bertarung sudah ditetapkan. Untuk mengetahui seberapa besar peluang masing-masing kandidat, coba simak lanjutan artikel di bawah ini:

Kajian Pertarungan Kekuasaan di Jawa Timur Tahun 2018

Secara umum, Jawa Timur sebenarnya tidak begitu heterogin, karena hanya didominasi oleh etnis Jawa (dengan berbagai macam sub-etniknya) dan etnis Madura-Pedalungan.

Dari apa yang telah diuraikan di atas, nampak jelas, bahwa orientasi politik NASIONALIS, sangat dominan di Jawa Timur Bagian Barat, sementara ISLAM TRADISIONAL, menguasai Jawa Timur Bagian Timur. Dengan keunggulan tipis secara agregat pada ISLAM TRADISIONAL. Kekuatan ISLAM MODERNIS berupa enclave di pedalaman Jawa Timur (Malang dan sekitarnya) dan pesisir utara Jawa Timur (Lamongan, Surabaya) akan. Kekuatan ISLAM MODERNIS akan  sangat sulit memenangkan persaingan di wilayah ini jika ikut dalam kompetisi.


Maka tidak mengherankan jika untuk posisi Gubernur dan Wakil Gubernur, para pihak yang mencalonkan berusaha untuk mencari kombinasi kekuatan ISLAM TRADISIONAL dengan kekuatan NASIONALIS, jika ingin memaksimalkan perolehan suara.


Tanpa menyebut nama calon dan partai pendukung, di Jawa Timur akan saling berhadapan kader-kader dari kekuatan ISLAM TRADISIONAL sebagai Calon Gubernur dan kader-kader kekuatan NASIONALIS sebagai Calon Wakil Gubenur. Ini merupakan ajang pertarungan yang menarik, karena ibarat pertandingan DERBY dalam pertandingan olahraga, akan membuat suasana persaingan menjadi lebih panas.  Baik kekuatan ISLAM TRADISIONAL maupun kekuatan NASIONALIS akan terbelah.



Pasangan Calon Pertama adalah petahana (Wakil Gubernur periode sebelumnya), dengan Calon Wakilnya yang ditetapkan pada saat-saat last minute, yang kebetulan belum memiliki rekam jejak yang cemerlang di Jawa Timur. Kekuatan virtual-nya ada pada nama besar Presiden Republik Indonesia yang pertama, yang juga adalah kakeknya,  yang mencoba ditawarkan sebagai “virtual power”


Pasangan Calon Kedua adalah tokoh wanita yang sudah 2 (dua) kali bertarung dalam pemilihan periode sebelumnya, namun kalah dengan perbedaan yang sangat tipis pada periode pertarungan yang pertama.



Karena ini adalah pertarungan DERBY antar pasanganISLAM TRADISIONAL dan NASIONALIS , dalam  ALL EAST JAVA FINAL, maka hasil akhir tergantung dari kharisma, pesona, rekam jejak dan ketokohan  para calon yang bertarung. Bukan lagi kepada kekuatan partai-partai pengusung.


Mesin politik nampaknya perlu bekerja extra keras, karena para pemilih tidak lagi melihat kepada partai pendukung, namun kepada ketokohan masing-masing calon. Penulis sebenarnya sudah membuat kalkulasi berbasis ANTROPOLOGI POLITIK tentang pertarungan ini, sehingga dapat memprediksi siapa yang akan memperoleh kemenangan, seperti pemilihan-pemilihan beberapa pertarungan di tingkat Provinsi di Indonesia sebelumnya. Namun penulis tidak ingin menyampaikannya di forum ini, supaya tidak terjebak untuk beropini. Penulis hanya akan menyampaikannya kepada para sahabat dekat. Namun sebagai CLUE perlu penulis sampaikan, bahwa yang akan memenangkan pertarungan adalah yang memiliki “kharisma, pesona, rekam jejak atau prestasi dan ketokohan”   para calon yang akan  bertarung.




II.  JAWA TENGAH


Jawa Tengah adalah Provinsi dengan entitas yang sangat homogen. Heterogenitasnya terletak pada sub-kulturnya. Enclave entitas Sunda hanya terdapat di sebagian wilayah Cilacap yang berbatasan dengan Sungai Citanduy  dan sebagian wilayah Brebes.

Dalam perspektif Antropologi, Jawa Tengah terbagi dalam 3 sub-etnik utama dan 2 sub etnik enclave, yaitu :


1). Sub Etnik Jawa Ngapak (Koek/Kowek).
Yang masih terbagi menjadi Jawa Ngapak Tegalan dan Jawa Ngapak Banyumasan, yang mendiami wilayah Jawa Tengah Bagian Barat


2), Sun Etnik Jawa Mataraman
Yang mendiami wilayah Jawa Tengah Bagian Selatan-Timur (dengan plat nomor polisi huruf ganda AA dan AD. Sedangkan AB – Yogyakarta tidak termasuk Jawa Tengah, karena merupakan Provinsi tersendiri)


3). Sub Etnik Jawa Semarangan
Yang mendiami wilayah Jawa Tengah Bagian Utara-Timur.

Sedangkan 2 Sub-etnik enclave, yaitu:


1). Etnik Sunda (Sebagian Cilacap dan Brebes)


2). Sub-etnik Jawa Samin (Blora dan sekitarnya)

Jawa Tengah sangat didominasi kekuatan NASIONALIS, dengan beberapa enclave ISLAM TRADISIONAL sebagai peringkat kedua, disusul kekuatan  ISLAM MODERNIS sebagai peringkat ketiga. Salah satu partai NASIONALIS memiliki mesin politik yang sangat efektif di wilayah ini.

Sehingga dalam skala Provinsi, Jawa Tengah dikuasai oleh kekuatan NASIONALIS. Enclave ISLAM TRADISIONAL terdapat di pantai Utara Jawa Tengah. Enclave ISLAM MODERNIS terdapat di pedalaman Jawa Tengah.  Meskipun demikian di pedalaman Jawa Tengah kekuatan ISLAM TRADISIONAL juga sangat sigifikan.


Seperti di Jawa Timur, di Jawa Tengah peranan  Para Kyai dari kekuatan ISLAM TRADISIONAL  sangat diperhitungkan di sini, meskipun kekuatan NASIONALIS lebih unggul secara aggregat daripada kekuatan ISLAM TRADISIONAL.  Maka konstelasi politisnya selalu saja kekuatan NASIONALIS menggandeng kekuatan ISLAM TRADISIONAL

Maka tidaklah mengerankan jika pada pertarungan politik Tahun 2018, kombinasi pasangan calon yang bertarung adalah kekuatan NASIONALIS sebagai Gubernur dan kekuatan ISLAM TRADISIONAL sebagai Wakil Gubernur. Jadi posisinya terbalik dengan pertarungan yang ada di Jawa Timur.

Sama dengan di Jawa Timur, untuk Jawa Tengah juga seolah terjadi DERBY dalam ALL CENTRAL JAVA FINAL, karena hanya ada 2 (dua) PETARUNG. Yang masing-masing pasangan merepresentasikan kekuatan NASIONALIS dengan wakil dari kekuatan ISLAM TRADISIONAL.

Mengapa di Jawa Timur dan Jawa Tengah hanya ada 2 (dua) petarung? Karena kekuatan-kekuatan politik yang lain “tahu diri” untuk tidak mencoba mengajukan calon, karena sudah melakukan kalkulasi politik dalam perspektif ANTROPOLOGI POLITIK. Biasanya kekuatan lain, akan memilih salah satau di antara yang sudah akan bertarung, atau abstain.
Dari 2 (dua) kandidat yang akan bertarung sebenarnya sudah dapat dikalkulasi secara ANTOPOLOGI POLITIK siapa yang akan menang. Namun seperti di Jawa Timur maka yang akan lebih menentukan adalah rekam jejak dari masing-masing pasangan, karena masing-masing pasangan sudah dari entitas yang sama yang merepresentasikan kekuatan politik yang ada di Jawa Tengah. Yang akan menang adalah yang memiliki: “kharisma, pesona, rekam jejak atau prestasi, ketokohan, serta kebersihan” dari kandidat yang ada.

Perlu diketahui, meski di era NOW sekarang ini orinetasi politik sudah sangat PRAGMATIS dan MATERIALISTIK, yang berbeda dengan orientasi politik TEMPO DOELOE yang sangat IDEOLOGIS dan sangat penuh dengan  IDEALISME, karena telah LUNTUR ter-erosi waktu, namun untuk JAWA TENGAH dan JAWA TIMUR masih cukup kental idealisme dan ideologisme-nya. Mungkin karena etnis JAWA dengan berbagai sub-etniknya yang menguasai wilayah ini secara antropologis, memiliki stereotip antropologi politik secara bawaan.
Etnis Jawa adalah etnis terbesar di Indonesia (42% total Penduduk Indonesia, atau sekitar 100 juta penduduk atau lebih?). Yang merupakan barometer politik Indonesia. Namun demikian, “kharisma, pesona, rekam jejak atau prestasi, ketokohan, serta kebersihan” dari kandidat yang ada.adalah kunci untuk menang.

 
III . JAWA BARAT

Diakui atau tidak sebenarnya di Jawa Barat ada perbedaan yang menonjol pada peta kekuatan politik sebelum Orde Baru dengan sesudah Orde Baru. Sebelum Orde Baru “idealisme” dan “ideologi” masih sangat berperan kental dalam berpolitik. Sedangkan setelah proses panjang di masa Orde Baru, peta kekuatan politik terjadi pergeseran menjadi lebih “pragmatis”


Secara literer, sebelum Orde Baru berkuasa,  Jawa Barat  sering disebut sebagai wilayah hegemoni kekuatan politik ISLAM MODERNIS. Sedangkan sesudah Orde Baru, pragmatisme telah membuat peta kekuatan politik mulai bergeser. Kekuatan NASIONALIS mulai unjuk gigi. Kekuatan NASIONALIS mulai dapat mengimbangi kekuatan ISLAM MODERNIS, bahkan melewatinya. Jika sebelum Orde Baru kekuatan NASIONALIS seolah di bawah bayang-bayang kekuatan ISLAM MODERNIS, maka setelah Orde Baru, kekuatan NASIONALIS ( jika menyimak Hasil Pemilu 2004, 2009 dan 2014), telah terbukti mulai mendominasi dalam peta kekuatan politik di Jawa Barat. Memang kekuatan NASIONALIS  selalu kalah dalam “pertempuran politik”, namun itu dalam pertarungan "pemimpin eksekutif". Dengan kata lain, superioritas ISLAM MODERNIS atas kekuatan NASIONALIS masih ada dalam pemilihan "pemimpin eksekutif". Hal tersebut  diperoleh karena strategi kekuatan politik  ini  sangat efektif dan tepat dalam menyusun strategi pemenangan “pergulatan politik” di wilayah ini. Namun secara agregat, kekuatan NASIONALIS mendominasi peta persaingan politik pada pergulatan pemilihan "pemimpin legislatif"..

ISLAM MODERNIS sangat piawai dalam memanfaatkan situasi dan kondisi JAWA BARAT dalam memenangkan hati pemilih, khususnya dalam pemenangan pemimpin eksekutif setelah Orde Baru. Kekuatan pemenangan mereka adalah karena strategi mereka sangat tepat dan efektif. Sebenarnya konstituen tradisional dan militan mereka masih di bawah konstituen tradisional dan militan kekuatan NASIONALIS.. Diakui atau tidak pergulatan politik pemilihan pemimpin eksekutif memang kekuatan politik ISLAM MODERNIS lebih dominan dalam memenangkannya. Namun dalam pemilihan pemimpin politik legislatif, justru kekuatan politik NASIONALIS-lah yang memenangkannya. Dalam pergulatan politik pemilihan pemimpin eksekutif,  kekuatan politik ISLAM MODERNIS dapat mengambil hati masyarakat Jawa Barat yang tradisional dan religius dalam kompetisi politik dengan formula “4-N”,  yang memang sudah  merupakan inti budaya yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu “Nyunda, Nyantri, Nyantrik, dan Nyantika”.

Masyarakat Jawa Barat, ingin agar para pemimpin mereka adalah NYUNDA, yaitu orang Sunda, NYANTRI, yaitu religius, NYANTRIK, yaitu berpendidikan yang tinggi dan atau berpengetahuan luas, serta  NYANTIKA, yaitu memiliki adab kesopanan, etika, dan atau tatakrama yang baik.
Di samping itu peran “ketokohan” yang di dalamnya termasuk “track record” dan prestasi atau kemampuan seseorang, juga sangat membantu dalam pemenangan pergulatan politik yanga ada. Dengan kata lain “adu ketokohan” juga merupakan kointributor utama. Karena setelah era Orde Baru,  penuh dengan pragmatisme politik atau mulai lunturnya idealisme dan ideologi.



Namun demikian, seperti halnya  di Jawa Tengah dan Jawa Timur, maka di Jawa Barat untuk memenangkan pemimpin eksekutif yang paling efektif adalah mengusung pasangan kombinasi calon pemimpin dari kekuatan-kekuatan politik yang ada. Dapat berupa  kombinasi NASIONALIS-ISLAM MODERNIS atau sebaliknya, juga NASIONALIS-ISLAM TRADISIONAL dan sebaliknya. Karena masih berharap pada hal-hal  berupa sentimen ideologis yang mungkin  masih ada.
 

Secara antropologis Provinsi Jawa Barat terbagi dalam 5 (lima)  sub etnik SUNDA dengan enclave etnik JAWA di bagian TIMUR LAUT wilayah ini. Pembagian atas 5 (lima) sub-etnik SUNDA ini dirunut berdasar dialek mereka dalam bertutur.
(Catatan: sebenarnya masih ada 2  sub etnik SUNDA yang lain, namun sekarang sudah tidak termasuk dalam Provinsi Jawa Barat, karena sudah terpisah menjadi Provinsi BANTEN, yaitu Sub-etnik SUNDA BARAT dan Sub-etnik SUNDA WIWITAN-Baduy di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; Cirebon; dan Cigugur, Kuningan).

Adapun Sub-etnik  yang ada di Jawa Barat adalah:


1). Sub-etnik SUNDA SELATAN, yang membentang dari Cianjur sampai ke sebagian Tasikmalaya. Orientasi Politik kawasan ini adalah  ISLAM MODERNIS dan NASIONALIS.


2). Sub-etnik SUNDA UTARA, yang membentang dari BOGOR, Bekasi, Karwang dan sebagian kecil Cirebon. Orientasi kawasan ini adalah ISLAM MODERNIS dan NASIONALIS di bagian barat, serta  ISLAM TRADISIONAL di bagian timur.


3). Sub-etnik SUNDA TENGGARA, yang meliputi sebagian Tasikmalaya dan Ciamis. Orientasi wilayah Tasikmalaya dan Garut lebih cenderung ISLAM TRADISIONAL dan  ISLAM MODERNIS, sedangkan Ciamis lebih cenderung NASIONALIS.


4) Sub etnik SUNDA TIMUR, yang meliputi wilayah Majalengka adalah NASIONALIS


5). Sub-etnik SUNDA TIMUR LAUT, yang meliputi wilayah Kuningan adalah NASIONALIS.


6). Sub-etnik JAWA CIREBON-AN,  yang mendiami wilayah Cirebon, Indramayu, Karawang Utara, NASIONALIS dan ISLAM TRADISIONAL


Perlu diketahui, untuk memenangkan pergulatan politik, juga harus memperhitungkan demografi, sehingga fokus pada wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi adalah suatu pilihan yang tepat. Adapun wilayah dengan tingkat kepadatan tinggi adalah wilayah Jawa Barat yang berseberangan dengan DKI Jakarta, serta wilayah Sunda Selatan Bagian Tengah dan Barat.

Patut dicatat, wilayah Jawa Barat yang berbatasan dengan Jakarta, pelan namun pasti telah menjadi lebih heterogin, karena hadirnya para pendatang dari luar wilayah Jawa Barat, mengingat lokasinya sebagai wilayah penyangga DKI Jakarta. Dampaknya tentu saja telah menggeser peta kekuatan politik di wilayah tersebut, yang diwarnai oleh potensi politik yang dibawa oleh para pendatang.

( BERSAMBUNG )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar