Prolog:
Artikel ini pernah disampaikan diberbagai kesempatan pada bulan Januari 2018, saat Tahapan PILKADA 2018 masih belum ada pendaftaran calon-calon Peserta Kontestasi Politik
------------------- --
REPOSTING-UNGGAH KEMBALI:
Kajian Antropologi Politik
Artikel ini pernah disampaikan diberbagai kesempatan pada bulan Januari 2018, saat Tahapan PILKADA 2018 masih belum ada pendaftaran calon-calon Peserta Kontestasi Politik
------------------- --
REPOSTING-UNGGAH KEMBALI:
Kajian Antropologi Politik
atas
Pilkada Tingkat Provinsi Khusus
Provinsi-provinsi di Jawa
Oleh: Ratmaya Urip*)
============= ==
BAGIAN – 1
Hiruk pikuk pertarungan politik yang
dikemas berbalut “euphemisme” dengan istilah “Pesta Demokrasi”, suka tidak
suka, mau tidak mau akan selalu diperhitungkan dalam bisnis, karena
secara ekonomi, politik dan keamanan (baca kelancaran berusaha) akan sangat
memberikan pengaruh yang signifikan di tahun penyelenggaraannya.
Perencanaan Jangka Panjang (Longterm Plan)maupun Perencanaan Jangka
Pendek (Annual Plan) selalu memperhitungkan aspek ini. Karena pelaku
bisnis banyak yang melakukan “wait and see” , sehingga roda berusaha
sedikit banyak akan terganggu. Tergantung dari jenis bisnisnya.
Seperti tahun-tahun sebelumnya,
penulis kembali akan menelaah kontes politik ini dari perspektif ANTROPOLOGI
POLITIK dan sedikit bahasan atau telaan dalam perspektif ANTROPOLOGI
EKONOMI/BISNIS.
Telaah kali ini sengaja hanya akan
membedah perspektif ini khusus untuk provinsi-provinsi di Jawa, dalam hal
ini Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah, wilayah yang pada Tahun 2018 ini
akan menjadi ajang pertarungan politik. Mengapa wilayah ini yang dikaji?
Karena wilayah ini merupakan barometer perpolitikan nasional, dengan jumlah penduduk
mayoritas di Indonesia (Jawa memiliki 70% dari total penduduk di Indonesia).
Karena DKI Jakarta, Banten dan Daerah Istimewa Yogyakarta hiruk pikuk
kontestasi politiknya telah selesai, dan juga wilayah ini tidak sebesar wilayah
Jabar, Jateng dan Jatim), maka tidak akan dibahas di telaah ini. (Catatan; Di
Jawa terdapat 6 Provinsi)
Dalam perspektif
antropologi, penulis mungkin dianggap sebagai “orthodox”, karena masih sering
mengintip rujukan pada buku “Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa”
(1960) dari “Clifford James Geertz” . Karena menurut penulis, untuk saat
ini, jika kajiannya pragmatis praktis dan merujuk pada realitas lapangan, apa
yang telah disampaikannya masih cukup relevan.
“Abangan” secara
realitas lapangan direpresentasikan oleh golongan “Nasionalis”. Sedangkan
“Santri” direpresntasikan oleh Golongan Agama (Baca: Islam), meskipun secara
riil, “Santri” dibagi lagi menjadi “Santri Tradisional” dan “Santri Modernis”,
yang secara antropologi politik memiliki stereotip yang agak berbeda. Sedangkan
“Priyayi” merepresentasikan pada birokrat, intelektual, bangsawan, atau
golongan menengah di Indonesia. Golongan “Priyayi” ini merupakan campuran dari
Golongan “Nasionalis” dan Golongan “Agama” (Baca: Islam).
Seperti diketahui, konstelasi politik Indonesia, diakui atau
tidak sebenarnya masih mengerucut pada dua kutub utama kekuatan, yaitu antara
kutub NASIONALIS dan kutub AGAMA (Islam).
Kutub AGAMA yang untuk Pemilu 2014 direpresentasikan oleh 5 (lima) Parpol AGAMA (Islam), sementara kutub NASIONALIS direpresentasikan oleh 7 (tujuh) partai.
Kutub AGAMA yang untuk Pemilu 2014 direpresentasikan oleh 5 (lima) Parpol AGAMA (Islam), sementara kutub NASIONALIS direpresentasikan oleh 7 (tujuh) partai.
Ada catatan khusus yang perlu saya sampaikan, bahwa baru kali ini sejak reformasi bergulir tak ada peserta Pemilu dari partai AGAMA-Non Muslim (Kristen-Katholik) seperti Partai Katholik, Partai Kristen Indonesia, Partai Damai Sejahtera, dll.
Ini adalah suatu degradasi politis.
I.
JAWA
TIMUR
Penulis sengaja
memulai kajian dari topik ini dari Provinsi Jawa Timur, karena wilayah
ini merupakan wilayah yang secara antropologi politik lebih mudah dikaji. Jawa
Timur relatif merupakan wilayah yang tidak begitu heterogin seperti halnya DKI
Jakarta, Jawa Barat dan Banten, dalam perspektif Antropologi.
Saat tulisan ini
diunggah, calon-calon pasangan Gubernur-Wakil Gubernur yang akan maju dalam
PILKADA Serentak 2018, masih dalam proses penggodokan oleh masing-masing partai
pengusung. .
Wilayah ini memiliki
kekuatan yang relatif berimbang antara kekuatan ISLAM TRADISIONAL dengan
kekuatan NASIONALIS, dengan sedikit keunggulan bagi kekuatan ISLAM TRADISIONAL.
Sementara kekuatan ISLAM MODERNIS berada di peringkat di bawahnya.
Bahkan untuk
pertarungan politik kali ini, Jawa Timur dimungkinkan untuk terjadi pertarungan
antarkelompok ISLAM TRADISIONAL untuk Gubernur, yang masing-masing kubu
menggandeng kelompok NASIONALIS sebagai Wakil Gubernur. Calon-calon dari
kelompok ISLAM MODERNIS patut diduga akan mengalami kesulitan untuk memenangkan
pertarungan di wilayah ini. Di wilayah ini “kemesraan” antara kelompok ISLAM
TRADISIONAL dengan kelompok NASIONALIS memang sudah terjalin sejak jaman
dahulu. Maka tidak mengherankan jika saat Presiden Soekarno berkuasa
(NASIONALIS), maka Urusan Agama yang direpresentasikan dengan adanya
Kementerian Agama selalu dijabat oleh pihak ISLAM TRADISIONAL.
Mari kita coba simak
Geopolitiknya, sebabgai berikut:
Jawa Timur terbagi
secara antropologis menjadi 6 (enam) sub-etnik dominan yang berkorelasi baik
langsung maupun tidak langsung dalam pandangan politiknya. Enam sub-etnik
dimaksud adalah: Jawa
Arek, Jawa Mataraman, Jawa Kulonan, Madura-Pedalungan, Jawa Osing, dan Jawa
Tengger.
1.1. Sub etnis Jawa Arek
Sub-etnik ini, secara dominan
mendiami wilayah Surabaya dan sekitarnya, (termasuk Sidoarjo, Gresik, sebagian
Lamongan, Mojokerto, sebagian Jombang, sebagian Pasuruan, sebagian
Probolinggo), Malang dan sekitarnya. Wilayah ini masih terbagi lagi menjadi 2 (sub
sub etnis), yaitu:
- Jawa Arek Pesisir
- Jawa Arek Pedalaman
Konstelasi antropologis ini
memberikan konstelasi politik yang berbeda.
Jawa Arek Pesisir (Surabaya dan
sekitarnya), cenderung untuk berorientasi politik ISLAM TRADISIONAL, khususnya
di pedesaan (rural), sedangkan di perkotaan lebih dominan berorientasi
NASIONALIS. Jika dia Muslim, di perkotaan cenderung untuk berorientasi politik
ISLAM MODERNIS.
Jawa Arek Pedalaman (Malang dan
sekitarnya) dominan memiliki orientasi politik NASIONALIS dan ISLAM MODERNIS
1.2 Sub Etnis Jawa Mataraman
Di Jawa, terdapat wilayah, yang
memiliki Nomor Polisi Ganda. Biasanya di Jawa Nomor Polisinya adalah Tunggal,
misalnya A (Banten), B (Jakarta), D (Bandung), H (Semarang), L (Surabaya), N
(Malang), dan sebagainya. Namun ada wilayah di Jawa yang memiliki Nomor Polisi
Ganda, yaitu: AA (Kedu-Magelang dan sekitarnya), AB (Yogyakarta dan
sekitarnya), AD (Surakarta dan sekitarnya), AE (Madiun dan sekitarnya), AG
(Kediri dan sekitarnya). Wilayah ini adalah wilayah historis, yang kemudian
disebut sebagai Wilayah Mataraman, atau Jawa Mataraman, yang secara
antropologis memiliki stereotip antropologis yang berbeda dengan
wilayah-wilayah Jawa yang lain.
Di Jawa Timut, wilayah Jawa
Mataraman yang ada adalah yang memiliki Nomor Polisi AE (Madiunj dan
sekitarnya), dan AG (Kediri dan sekitarnya.
Wilayah ini memiliki orientasi
politik dominan NASIONALIS. Disusul oleh ISLAM MODERNIS. ISLAM TRADISIONAL
sebagai ranking ke-3. Namun NASIONALIS sangat dominan di wilayah JAWA
MATARAMAN.
1.3. Sub Etnis Madura – Pendalungan
Sebenarnya entitas Pendalungan berbeda dengan entitas Madura,
maupun entitas Jawa. Sub-etnik Pendalungan merupakan hasil asimilasi antara
budaya Jawa (khususnya Jawa Arek) dengan budaya Madura, yang membentuk budaya
tersendiri.
Entitas Pendalungan ini memiliki wilayah penyebaran di Jawa Timur
Pesisir Bagian Utara, khususnya wilayah Tapak Kuda (Gresik, Surabaya, Sidoarjo,
Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso), serta Pesisir Jawa Timur Bagian
Selatan khususnya di Jawa Timur Bagian Timur (Jember, Lumajang, sebagian
Banyuwangi)
Entitas Pendalungan digabungkan dengan entitas Madura, karena
dalam perspektif Antropologi Politik memiliki kesamaan pandangan, yaitu
berorientasi politik secara dominan pada ISLAM TRADISIONAL. Namun demikian
dalam kenyataannya, ISLAM TRADISIONAL sendiri masih terbelah pada 2 (dua) kutub
pandangan.
1.4. Sub Etnis Jawa Kulonan
Istilah ini merujuk pada posisi geografis, untuk sub etnis Jawa,
yang mendiami wilayag Jawa Timur Bagian Barat, sebelah Utara, atau tepatnya
wilayah Ex-Karesidenan Bojonegoro, yang meliputi, Bojonegoro, Tuban dan
sebagian Lamongan).
Sebenarnya Sub etnis ini saudara dari Sub Etnis Jawa-Semarangan,
salah satu Sub Etnis di Jawa Tengah yang memiliki wilayah geografis
Ex-Karesidenan Semarang (Semarang, Demak, Kendal, Grobogan) dan
Ex-Karesidenan Pati (Pati, Kudus, Jepara, Rembang, Blora).
Sub Etnis Jawa Kulonan, memiliki orientasi politik NASIONALIS dan
ISLAM TRADISIONAL, dengan beberapa enclave ISLAM MODERNIS.
1.5. Sub Etnis Jawa Osing
Sub Etnis ini mendiami ujung timur dari Pulau Jawa yang meliputi
Kabupaten Banyuwangi. Sub etnis ini memiliki orientasi politik yang berimbang
antara NASIONALIS dengan ISLAM TRADISIONAL.
1.6. Sub Etnis Jawa Tengger
Sub Etnis ini mendiami wilayah lereng Gunung Semeru-Bromo, yang
memiliki orientasi politik NASIONALIS.
Kajian Pertarungan Kekuasaan di Jawa Timur Tahun 2018
Saat artikel ni disusun, calon-calon Gubernur-Wakil Gubernur
Jawa Timur yang akan bertarung sudah ditetapkan. Untuk mengetahui seberapa
besar peluang masing-masing kandidat, coba simak lanjutan artikel di bawah ini:
Kajian Pertarungan Kekuasaan di Jawa
Timur Tahun 2018
Secara umum, Jawa
Timur sebenarnya tidak begitu heterogin, karena hanya didominasi oleh etnis
Jawa (dengan berbagai macam sub-etniknya) dan etnis Madura-Pedalungan.
Dari apa yang telah
diuraikan di atas, nampak jelas, bahwa orientasi politik NASIONALIS, sangat
dominan di Jawa Timur Bagian Barat, sementara ISLAM TRADISIONAL, menguasai Jawa
Timur Bagian Timur. Dengan keunggulan tipis secara agregat pada ISLAM
TRADISIONAL. Kekuatan ISLAM MODERNIS berupa enclave di pedalaman Jawa Timur
(Malang dan sekitarnya) dan pesisir utara Jawa Timur (Lamongan, Surabaya) akan.
Kekuatan ISLAM MODERNIS akan sangat sulit memenangkan persaingan di
wilayah ini jika ikut dalam kompetisi.
Maka tidak
mengherankan jika untuk posisi Gubernur dan Wakil Gubernur, para pihak yang
mencalonkan berusaha untuk mencari kombinasi kekuatan ISLAM TRADISIONAL dengan
kekuatan NASIONALIS, jika ingin memaksimalkan perolehan suara.
Tanpa menyebut nama
calon dan partai pendukung, di Jawa Timur akan saling berhadapan kader-kader
dari kekuatan ISLAM TRADISIONAL sebagai Calon Gubernur dan kader-kader kekuatan
NASIONALIS sebagai Calon Wakil Gubenur. Ini merupakan ajang pertarungan yang
menarik, karena ibarat pertandingan DERBY dalam pertandingan olahraga, akan
membuat suasana persaingan menjadi lebih panas. Baik kekuatan ISLAM
TRADISIONAL maupun kekuatan NASIONALIS akan terbelah.
Pasangan Calon
Pertama adalah petahana (Wakil Gubernur periode sebelumnya), dengan Calon
Wakilnya yang ditetapkan pada saat-saat last minute, yang kebetulan belum
memiliki rekam jejak yang cemerlang di Jawa Timur. Kekuatan virtual-nya ada
pada nama besar Presiden Republik Indonesia yang pertama, yang juga adalah
kakeknya, yang mencoba ditawarkan sebagai “virtual power”
Pasangan Calon Kedua
adalah tokoh wanita yang sudah 2 (dua) kali bertarung dalam pemilihan periode
sebelumnya, namun kalah dengan perbedaan yang sangat tipis pada periode
pertarungan yang pertama.
Karena ini adalah
pertarungan DERBY antar pasanganISLAM TRADISIONAL dan NASIONALIS , dalam
ALL EAST JAVA FINAL, maka hasil akhir tergantung dari kharisma, pesona,
rekam jejak dan ketokohan para calon yang bertarung. Bukan lagi kepada
kekuatan partai-partai pengusung.
Mesin politik
nampaknya perlu bekerja extra keras, karena para pemilih tidak lagi melihat
kepada partai pendukung, namun kepada ketokohan masing-masing calon. Penulis
sebenarnya sudah membuat kalkulasi berbasis ANTROPOLOGI POLITIK tentang
pertarungan ini, sehingga dapat memprediksi siapa yang akan memperoleh
kemenangan, seperti pemilihan-pemilihan beberapa pertarungan di tingkat
Provinsi di Indonesia sebelumnya. Namun penulis tidak ingin menyampaikannya di
forum ini, supaya tidak terjebak untuk beropini. Penulis hanya akan
menyampaikannya kepada para sahabat dekat. Namun sebagai CLUE perlu penulis
sampaikan, bahwa yang akan memenangkan pertarungan adalah yang memiliki
“kharisma, pesona, rekam jejak atau prestasi dan ketokohan” para
calon yang akan bertarung.
II.
JAWA TENGAH
Jawa Tengah adalah
Provinsi dengan entitas yang sangat homogen. Heterogenitasnya terletak pada
sub-kulturnya. Enclave entitas Sunda hanya terdapat di sebagian wilayah Cilacap
yang berbatasan dengan Sungai Citanduy dan sebagian wilayah Brebes.
Dalam perspektif
Antropologi, Jawa Tengah terbagi dalam 3 sub-etnik utama dan 2 sub etnik
enclave, yaitu :
1).
Sub Etnik Jawa Ngapak (Koek/Kowek).
Yang masih terbagi
menjadi Jawa Ngapak Tegalan dan Jawa Ngapak Banyumasan, yang mendiami wilayah
Jawa Tengah Bagian Barat
2),
Sun Etnik Jawa Mataraman
Yang mendiami wilayah
Jawa Tengah Bagian Selatan-Timur (dengan plat nomor polisi huruf ganda AA dan AD. Sedangkan AB – Yogyakarta tidak termasuk Jawa
Tengah, karena merupakan Provinsi tersendiri)
3).
Sub Etnik Jawa Semarangan
Yang mendiami wilayah
Jawa Tengah Bagian Utara-Timur.
Sedangkan 2 Sub-etnik
enclave, yaitu:
1).
Etnik Sunda (Sebagian
Cilacap dan Brebes)
2).
Sub-etnik Jawa Samin (Blora
dan sekitarnya)
Jawa Tengah sangat
didominasi kekuatan NASIONALIS, dengan beberapa enclave ISLAM TRADISIONAL
sebagai peringkat kedua, disusul kekuatan ISLAM MODERNIS sebagai
peringkat ketiga. Salah satu partai NASIONALIS memiliki mesin politik yang
sangat efektif di wilayah ini.
Sehingga dalam skala
Provinsi, Jawa Tengah dikuasai oleh kekuatan NASIONALIS. Enclave ISLAM
TRADISIONAL terdapat di pantai Utara Jawa Tengah. Enclave ISLAM MODERNIS
terdapat di pedalaman Jawa Tengah. Meskipun demikian di pedalaman Jawa
Tengah kekuatan ISLAM TRADISIONAL juga sangat sigifikan.
Seperti di Jawa
Timur, di Jawa Tengah peranan Para Kyai dari kekuatan ISLAM TRADISIONAL
sangat diperhitungkan di sini, meskipun kekuatan NASIONALIS lebih unggul
secara aggregat daripada kekuatan ISLAM TRADISIONAL. Maka konstelasi
politisnya selalu saja kekuatan NASIONALIS menggandeng kekuatan ISLAM
TRADISIONAL
Maka tidaklah
mengerankan jika pada pertarungan politik Tahun 2018, kombinasi pasangan calon
yang bertarung adalah kekuatan NASIONALIS sebagai Gubernur dan kekuatan ISLAM
TRADISIONAL sebagai Wakil Gubernur. Jadi posisinya terbalik dengan pertarungan
yang ada di Jawa Timur.
Sama dengan di Jawa
Timur, untuk Jawa Tengah juga seolah terjadi DERBY dalam ALL CENTRAL JAVA
FINAL, karena hanya ada 2 (dua) PETARUNG. Yang masing-masing pasangan
merepresentasikan kekuatan NASIONALIS dengan wakil dari kekuatan ISLAM
TRADISIONAL.
Mengapa di Jawa Timur
dan Jawa Tengah hanya ada 2 (dua) petarung? Karena kekuatan-kekuatan politik
yang lain “tahu diri” untuk tidak mencoba mengajukan calon, karena sudah
melakukan kalkulasi politik dalam perspektif ANTROPOLOGI POLITIK. Biasanya
kekuatan lain, akan memilih salah satau di antara yang sudah akan bertarung,
atau abstain.
Dari 2 (dua) kandidat
yang akan bertarung sebenarnya sudah dapat dikalkulasi secara ANTOPOLOGI
POLITIK siapa yang akan menang. Namun seperti di Jawa Timur maka yang akan
lebih menentukan adalah rekam jejak dari masing-masing pasangan, karena
masing-masing pasangan sudah dari entitas yang sama yang merepresentasikan
kekuatan politik yang ada di Jawa Tengah. Yang akan menang adalah yang
memiliki: “kharisma, pesona, rekam jejak atau prestasi, ketokohan, serta
kebersihan” dari kandidat yang ada.
Perlu diketahui,
meski di era NOW sekarang ini orinetasi politik sudah sangat PRAGMATIS dan
MATERIALISTIK, yang berbeda dengan orientasi politik TEMPO DOELOE yang sangat
IDEOLOGIS dan sangat penuh dengan IDEALISME, karena telah LUNTUR
ter-erosi waktu, namun untuk JAWA TENGAH dan JAWA TIMUR masih cukup kental idealisme
dan ideologisme-nya. Mungkin karena etnis JAWA dengan berbagai sub-etniknya
yang menguasai wilayah ini secara antropologis, memiliki stereotip antropologi
politik secara bawaan.
Etnis Jawa adalah
etnis terbesar di Indonesia (42% total Penduduk Indonesia, atau sekitar 100
juta penduduk atau lebih?). Yang merupakan barometer politik Indonesia. Namun
demikian, “kharisma, pesona, rekam jejak atau prestasi, ketokohan, serta
kebersihan” dari kandidat yang ada.adalah kunci untuk menang.
III
. JAWA BARAT
Diakui atau tidak
sebenarnya di Jawa Barat ada perbedaan yang menonjol pada peta kekuatan politik
sebelum Orde Baru dengan sesudah Orde Baru. Sebelum Orde Baru “idealisme” dan
“ideologi” masih sangat berperan kental dalam berpolitik. Sedangkan setelah
proses panjang di masa Orde Baru, peta kekuatan politik terjadi pergeseran
menjadi lebih “pragmatis”
Secara literer,
sebelum Orde Baru berkuasa, Jawa Barat sering disebut sebagai
wilayah hegemoni kekuatan politik ISLAM MODERNIS. Sedangkan sesudah Orde Baru,
pragmatisme telah membuat peta kekuatan politik mulai bergeser. Kekuatan
NASIONALIS mulai unjuk gigi. Kekuatan NASIONALIS mulai dapat mengimbangi
kekuatan ISLAM MODERNIS, bahkan melewatinya. Jika sebelum Orde Baru kekuatan
NASIONALIS seolah di bawah bayang-bayang kekuatan ISLAM MODERNIS, maka setelah
Orde Baru, kekuatan NASIONALIS ( jika menyimak Hasil Pemilu 2004, 2009 dan
2014), telah terbukti mulai mendominasi dalam peta kekuatan politik di Jawa
Barat. Memang kekuatan NASIONALIS selalu kalah dalam “pertempuran
politik”, namun itu dalam pertarungan "pemimpin eksekutif". Dengan kata lain,
superioritas ISLAM MODERNIS atas kekuatan NASIONALIS masih ada dalam pemilihan
"pemimpin eksekutif". Hal tersebut diperoleh karena strategi kekuatan
politik ini sangat efektif dan tepat dalam menyusun strategi
pemenangan “pergulatan politik” di wilayah ini. Namun secara agregat, kekuatan
NASIONALIS mendominasi peta persaingan politik pada pergulatan pemilihan
"pemimpin legislatif"..
ISLAM MODERNIS sangat
piawai dalam memanfaatkan situasi dan kondisi JAWA BARAT dalam memenangkan hati
pemilih, khususnya dalam pemenangan pemimpin eksekutif setelah Orde Baru.
Kekuatan pemenangan mereka adalah karena strategi mereka sangat tepat dan
efektif. Sebenarnya konstituen tradisional dan militan mereka masih di bawah
konstituen tradisional dan militan kekuatan NASIONALIS.. Diakui atau tidak
pergulatan politik pemilihan pemimpin eksekutif memang kekuatan politik ISLAM
MODERNIS lebih dominan dalam memenangkannya. Namun dalam pemilihan pemimpin
politik legislatif, justru kekuatan politik NASIONALIS-lah yang memenangkannya.
Dalam pergulatan politik pemilihan pemimpin eksekutif, kekuatan politik
ISLAM MODERNIS dapat mengambil hati masyarakat Jawa Barat yang tradisional dan
religius dalam kompetisi politik dengan formula “4-N”, yang memang
sudah merupakan inti budaya yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin,
yaitu “Nyunda, Nyantri, Nyantrik, dan Nyantika”.
Masyarakat Jawa
Barat, ingin agar para pemimpin mereka adalah NYUNDA, yaitu orang Sunda,
NYANTRI, yaitu religius, NYANTRIK, yaitu berpendidikan yang tinggi dan atau
berpengetahuan luas, serta NYANTIKA, yaitu memiliki adab kesopanan,
etika, dan atau tatakrama yang baik.
Di samping itu peran
“ketokohan” yang di dalamnya termasuk “track record” dan prestasi atau
kemampuan seseorang, juga sangat membantu dalam pemenangan pergulatan politik
yanga ada. Dengan kata lain “adu ketokohan” juga merupakan kointributor utama.
Karena setelah era Orde Baru, penuh dengan pragmatisme politik atau mulai
lunturnya idealisme dan ideologi.
Namun demikian,
seperti halnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, maka di Jawa Barat untuk
memenangkan pemimpin eksekutif yang paling efektif adalah mengusung pasangan
kombinasi calon pemimpin dari kekuatan-kekuatan politik yang ada. Dapat
berupa kombinasi NASIONALIS-ISLAM MODERNIS atau sebaliknya, juga
NASIONALIS-ISLAM TRADISIONAL dan sebaliknya. Karena masih berharap pada
hal-hal berupa sentimen ideologis yang mungkin masih ada.
Secara antropologis
Provinsi Jawa Barat terbagi dalam 5 (lima) sub etnik SUNDA dengan enclave
etnik JAWA di bagian TIMUR LAUT wilayah ini. Pembagian atas 5 (lima) sub-etnik
SUNDA ini dirunut berdasar dialek mereka dalam bertutur.
(Catatan: sebenarnya
masih ada 2 sub etnik SUNDA yang lain, namun sekarang sudah tidak
termasuk dalam Provinsi Jawa Barat, karena sudah terpisah menjadi Provinsi
BANTEN, yaitu Sub-etnik SUNDA BARAT dan Sub-etnik SUNDA WIWITAN-Baduy di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok,
Sukabumi; Kampung
Naga; Cirebon;
dan Cigugur, Kuningan).
Adapun
Sub-etnik yang ada di Jawa Barat adalah:
1). Sub-etnik SUNDA
SELATAN, yang membentang dari Cianjur sampai ke sebagian Tasikmalaya. Orientasi
Politik kawasan ini adalah ISLAM MODERNIS dan NASIONALIS.
2). Sub-etnik SUNDA
UTARA, yang membentang dari BOGOR, Bekasi, Karwang dan sebagian kecil Cirebon.
Orientasi kawasan ini adalah ISLAM MODERNIS dan NASIONALIS di bagian barat,
serta ISLAM TRADISIONAL di bagian timur.
3). Sub-etnik SUNDA
TENGGARA, yang meliputi sebagian Tasikmalaya dan Ciamis. Orientasi wilayah
Tasikmalaya dan Garut lebih cenderung ISLAM TRADISIONAL dan ISLAM MODERNIS, sedangkan Ciamis lebih
cenderung NASIONALIS.
4) Sub etnik SUNDA
TIMUR, yang meliputi wilayah Majalengka adalah NASIONALIS
5). Sub-etnik SUNDA
TIMUR LAUT, yang meliputi wilayah Kuningan adalah NASIONALIS.
6). Sub-etnik JAWA
CIREBON-AN, yang mendiami wilayah Cirebon, Indramayu, Karawang Utara,
NASIONALIS dan ISLAM TRADISIONAL
Perlu diketahui,
untuk memenangkan pergulatan politik, juga harus memperhitungkan demografi,
sehingga fokus pada wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi adalah suatu
pilihan yang tepat. Adapun wilayah dengan tingkat kepadatan tinggi adalah
wilayah Jawa Barat yang berseberangan dengan DKI Jakarta, serta wilayah Sunda
Selatan Bagian Tengah dan Barat.
Patut dicatat,
wilayah Jawa Barat yang berbatasan dengan Jakarta, pelan namun pasti telah
menjadi lebih heterogin, karena hadirnya para pendatang dari luar wilayah Jawa
Barat, mengingat lokasinya sebagai wilayah penyangga DKI Jakarta. Dampaknya
tentu saja telah menggeser peta kekuatan politik di wilayah tersebut, yang
diwarnai oleh potensi politik yang dibawa oleh para pendatang.
(
BERSAMBUNG )